Toyota juga dinilai paling lambat dalam hal menghasilkan kendaraan energi terbarukan. Pabrikan otomotif asal Jepang juga sering menjadi sasaran kritik dari aktivis dan investor hijau, karena tidak menggunakan mobil listrik baterai alias BEV cukup cepat.
Namun, Toyota bukannya tanpa alasan mengapa mereka lambat dalam menghasilkan kendaraan listrik. Dilansiri dari Carscoops, Kamis (2/2), Kepala Ilmuwan perusahaan, Gill Pratt, mengatakan jauh lebih masuk akal bagi perusahaan mobil untuk menawarkan mobil dengan sumber energi yang berbeda, termasuk hibrida dan hidrogen.
"Mobil listrik memang tidak menghasilkan emisi tapi mobil listrik sangat tergantung pada ketersediaan litium, yaitu mineral yang digunakan dalam produksi paket baterai," ujar Pratt.
Dalam hipotetis yang diuraikan Pratt dengan 100 kendaraan mesin konvesional menghasilkan 250g/km CO2. Selanjutnya, untuk membuat satu baterai litium berkapasitas 100 kWh hanya bisa dipakai satu unit Tesla dengan spesifikasi teratas. Tetapi 99 mobil lain yang masih pakai bensin menghasilkan CO2 sebesar 248,5 gram/Km.
Jika baterai berkapasitas 100 kWh itu digunakan membuat mobil hibrida maka bisa dipakai sekitar 90 unit mobil. Sehingga secara akumulasi tingkat emisi rata-rata turun menjadi 205 gram/Km.
"Jika ukurannya yaitu emisi CO2, maka manfaat baterai litium yang digunakan untuk jutaan mobil hibrida lebih besar ketimbang hanya digunakan untuk mobil listrik dengan jumlah lebih kecil," papar Pratt.
Dengan data ini bukan berarti Toyota tidak tertarik dengan EV. Di mana Toyota mengumumkan sedan bZ3X berukuran Tesla Model 3 untuk Cina, sedangakan di Indonesia Toyota memperkenalkan SUV bZ4X.
Tetapi perusahaan bersikeras bahwa perusahaan saingan seperti Honda, Cadillac, Volvo, dan lainnya, membuat kesalahan dengan mengerahkan seluruh bobot mereka di belakang EV murni.