OTODRIVER – Tabrakan beruntun yang acap terjadi di jalur bebas hambatan sebenarnya karena ada pelanggaran dua hal prinsip, yaitu; kecepatan terlalu tinggi untuk kondisi arus lalu linta syang ada saat kejadian, kemudian tidak menjaga antar kendaraan sehingga reaksi pengereman tidak mencukupi.
"Jaga jarak aman itu paling relevan dengan istilah ideal itu '4 detik'," buka kata praktisi keselamatan berkendara sekaligus Training Director Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI) Sony Susmana, saat dihubungi beberapa waktu lalu (27/6/2022).
Sony menjelaskan lagi makna dari '4 detik' itu dengan perhitungan mewakili, pertama 1 detik reaksi pengemudi dalam berpikir dan bereaksi.
Selain itu, 1 detik terakhir yaitu safety factor yang harus diperhitungkan. Namun, untuk perhitungan di atas menurut Sony ada catatan tersendiri untuk pengemudi.
"Seperti pengemudi harus dalam kondisi fit, tidak lelah, mengantuk, main handphone, merokok dan tidak sedang makan," tutupnya.
Regulasi jaga jarak di jalan tol
Perlu diingat kembali, jarak aman berkendara di tol juga sudah di atur dalam UU tentang Cara Berlalu Lintas pada Pasal 62 PP no. 43 Tahun 1993, khususnya jika keadaan jalan yang licin dan basah. Berikut rinciannya:
- Kecepatan 30 km per jam: Jarak aman yang ditempuh adalah 30 meter.
- Kecepatan 40 km per jam: Jarak aman yang ditempuh adalah 40 meter.
- Kecepatan 50 km per jam: Jarak aman yang ditempuh adalah 50 meter.
- Kecepatan 60 km per jam: Jarak aman yang ditempuh adalah 60 meter.
- Kecepatan 70 km per jam: Jarak aman yang ditempuh adalah 70 meter.
- Kecepatan 80 km per jam: Jarak aman yang ditempuh adalah 80 meter.
- Kecepatan 90 km per jam: Jarak aman yang ditempuh adalah 90 meter.
- Kecepatan 100 km per jam: Jarak aman yang ditempuh adalah 100 meter.
“Perlu diingat selalu juga bahwa mengemudi di jalan tol sesungguhnya ‘tidak pernah aman’,” ungkap Jusri Pulubuhu Senior Instructor dari Jakarta Driving Consuktant (JDDC). Ia dihubungi langsung pekan ini (24/12).
Disebutkannya perihal tidak aman itu karena meskipun tidak disertai dengan kecepatan tinggi, jika terjadi tabrakan antar kendaraan di jalan tol akan selalu bersifat ‘big impact’. Menurutnya, nyaris tidak mungkin pada mobiil tidak menimbulkan kerusakan yang terbilang sedang sampai berat sekalipun.
Hal itu, masih menurut Jusri, dikarenakan kecepatan reaksi pengemudi dengan gerak inersia yang tidak semestinya dari kendaraan yang dikemudikan sangat berpotensi tidak sesuai. “Apalagi jika sebelumnya sudah melewati perjalanan di jalan tol dalam waktu yang lama, potensi keterlambatan bereaksi dari pengemudi menjadi sangat besar. Apalagi jika tidak mampu juga menjaga kecepatan yang sesuai kondisi lalu lintas maupun regulasi yang berlaku,” jabarnya.
Jusri mengingatkan juga bahwa ada sindrom yang juga tidak mudah disadari saat mengemudi di jalan tol. “Apa yang disebut sebagai Highway Hypnosis, istilah mudahnya kondisi bengong pada pengemudi akibat perasaan bosan karena kondisi serta situasi jalan yang monoton,” urainya.
Terlambat bereaksi dalam hitungan satu detik menurut Jusri lagi sudah bisa membuat mobil yang dikemudikan ‘nyelonong’ 30 meteran. Ia juga menyebutkan kalkulasi untuk proses pengereman mulai dari berekasi pertama hingga kaki menginjak pedal rem di kisaran 4 detik.
“Satu detik rekasi pertama itu baru untuk pengenalan atas apa yang sebenarnya terjadi di depan mata pengemudi, jadi bayangkan kalau tahap ini kemudian gagal identifikasi, bisa dipastikan kendaraan yang dikemudikannya menabrak obyek yang ada di depannya,” ujar Jusri sembari berharap bahwa menjaga kecepatan kendaraan adalah langkah preventif paling mudah. (EW)