Bus listrik di Indonesia didukung lewat Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 yang membahas tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk mendukung penurunan emisi gas rumah kaca.
Hal ini yang membuat beberapa perusahaan turun di segmen ini. Termasuk pemain lokal seperti PT Mobil Anak Bangsa (MAB) dan PT INKA. Keduanya sudah memproduksi bus listrik nasional dalam skala prototipe.
Secara peta persaingan, bus listrik lokal akan menghadapi pesaing impor yang juga sudah hadir di Indonesia sebagai bagian armada bus kota.
Baik perusahaan asal Tiongkok dan Korsel itu sudah lebih dulu memiliki produk massal yang tidak hanya mengisi pasar domestik, tapi juga global.
Meski begitu, menurut Dr. Ir. Riyanto M.Si selaku Senior Researcher LPEM-FEB UI ada keunggulan tersendiri yang bakal dimiliki pabrikan bus listrik lokal, khususnya saat bersaing di level domestik.
Keunggulan itu ada dari sisi harga jual yang bakal lebih kompetitif. Sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para operator untuk memilihnya. "Harga (bus listrik) impor nggak akan kompetitif. Kalau mahal tidak akan dipilih," katanya.
Menurutnya hal tersebut hadir lewat Peraturan Presiden mengenai pemberian insentif dari kendaraan listrik itu berkandungan lokal (TKDN).
"Ada Perpres dan aturan lainnya yang mengatur insentif kendaraan listrik yang punya kandungan lokal. Harga produk impor nggak akan kompetitif. Kalau mahal mungkin tidak dipilih," ucapnya beberapa waktu lalu.
Toh demikian, bukan berarti produk merek luar akan jauh lebih mahal. Karena insentif TKDN juga berlaku untuk produsen global yang membangun fasilitas dan menggunakan banyak kandungan lokal di Indonesia.
"Supaya mendapat insentif, nantinya hal ini banyak memicu manufaktur yang membangun jaringannya di sini. Hal ini akan membawa pertumbuhan industri kendaraan listrik di Indonesia," tutup Riyanto.