OTODRIVER - Dari laman Indonesia.go.id (4/7) tertulis bahwa nilai tukan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sempat menyentuh angka Rp16.500 untuk 1 dolar AS. Sebagai catatan, pada bulan Juli tahun 2023 nilai tukar rupiah terhadap dola Amerika Serikat di ksaran Rp15.000.
Kalau sudah begini tentu saja memicu sejumlah produk barang maupun jasa untuk terkerek harganya. Termasuk produk otomotif berupa mobil baru. Hal ini diungkapkan oleh Anton Jimmy Suwandy, Marketing Director PT Toyota-Astra Motor (TAM) saat dihubungi pekan ini (12/7).
“Per 1 Juli 2024 kemarin memang Toyota telah melakukan penyesuaian harga, salah satu faktornya adalah perubahan kurs rupiah. Namun, penyesuaian kita fokuskan pada model CBU yang mayoritas produk di segmen high luxury,” sebutnya.
Sejurus kemudian dijelaskan lagi bahwa besaran kenaikan harga Rp2,5-6 jutaan bergantung pada jenis kendaraan.
Kondisi tersebut sejatinya memang tak mudah mengingat sejak awal tahun 2024 serapan mobil baru oleh pasar memang cenderung melambat. Kendati pihak Gaikindo masih tetap berkeyakinan akan target penjualan mobil baru tahun 2024 yang angkanya 1,1 juta unit.
Ada indikasi juga bahwa konsumen sedang berada di posisi menahan diri pada sejumlah segmen, dan juga engalami pelemahan daya beli untuk segmen-segmen tertentu.
“Keduanya mungkin ya. Karena memang dari awal tahun kita sedang masuk ke tahun pemilu, kemudian juga kondisi politik global sedang tidak stabil dan info dari teman-teman financing di mana angka non-performing loan naik sehingga sedang ada pengetatan kredit baru. Jadi sangat mungkin juga orang-orang menahan pembelian di waktu-waktu ini. Walaupun tidak menutup kemungkinan adanya penurunan daya beli karena peningkatan pertumbuhan ekonomi belum mencapai target,” jabar pria yang pernah mengawali karier Toyota-nya sebagai Officer MPD/Product Planning di tahun 2000.
Saat ditanyaan perihak naiknya harga mobil baru akan membuat harga mobil baru semakin sulit dijangkau konsumen, Anton kembali menjelaskan. “Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan penentuan harga jual kendaraan,” ucapnya.
Dilanjutkan lagi penjelasan soal ini olehnya,”Selain faktor internal seperti biaya produksi dan biaya logistik, faktor eksternal seperti pajak akan sangat memengaruhi. Apalagi skema pajak di Indonesia saat ini berdampak signifikan pada harga jual akhir kendaraan.”
Akan muncul perang harga sekaligus perang diskon?
Dari uraian diatas, cukup wajar jika kemudian memunculkan dugaan akan ada perang harga sekaligus perang diskon antar merek mobil sampai akhir tahun 2024.
Secara tersirat hal itu juga diamini oleh Anton, ”Diskon ini sebenarnya bukan di ranah APM ya melainkan di dealer sebagai penjual retail yang langsung berhubungan dengan customer. Tapi memang kita terus berkoordinasi tidak hanya kepada dealer tetapi juga kepada teman-teman di financing dan value chain untuk memberikan total package mobil yang kompetitif kepada pelanggan.”
Meski begitu, pria yang juga pernah menjadi Department Head of Accessories TAM itu berharap bahwa kondisi yang sulit saat ini bisa segera didapatkan solusinya oleh pemerintah dan industri otomotif nasional.
“Mungkin ini momen yang tepat bagi stakeholder untuk berkolaborasi bersama industri otomotif lewat intervensi fiscal seperti insentif maupun restrukturisasi pajak agar harga kendaraan bisa lebih terjangkau sejalan dengan angka GDP yang ada,” pungkasnya. (EW)