Efek dari kelangkaan semikonduktor bergitu dirasakan para produsen otomotif di Indonesia. Oleh karena itu, Tanah Air sedang menggenjot pembangunan pabrik chip di Jawa Barat.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, Taufiek Bawazier mengatakan, pembangunan ekosistem industri semikonduktor juga sejalan dengan target Making Indonesia 4.0.
"Karena itu, kami kerahkan kemampuan bangsa dari ahli elektronik hingga mikroelektronik,” ujar Taufik, dalam pernyataan resminya.
Taufiek mengungkapkan, Indonesia pernah memiliki pabrik semikonduktor pada tahun 1986 silam. Bahkan, mampu ekspor dalam bentuk chip semikonduktor yang nilainya mencapai Rp 135 juta pada masa itu.
“Oleh karenanya, upaya membangun kembali industri semikonduktor di era kecerdasan buatan atau artificial intelligence ini menjadi peluang yang sangat besar. Sebab, butuh peta jalan 10-20 tahun ke depan tentang industri semikonduktor yang bisa mengisi kebutuhan dalam negeri,” paparnya.
Pasalnya dengan kesulitan pasokan chip semikonduktor yang banyak dari Negara pemasok seperti China. Pabrikan di Indonesia kesulitan dalam menemukan penggantinya. Sehingga banyak mobil yang ditunda pemasarannya atau malah kehilangan sebagian fiturnya.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Astra Visteon Indonesia, Prihantanto Agung mengibaratkan sektor industri semikonduktor seperti kecil-kecil cabai rawit. Barangnya kecil tetapi menentukan dalam proses produksi otomotif.
“Barangnya kecil harganya cuma US$ 0,1 namun bisa membuat kami jualan mobil yang harganya ratusan juta,” ujarnya.
Selama pandemi, lanjut Prihantanto, rantai pasok semikonduktor global terputus dan berdampak bagi sektor otomotif di Indonesia. “Ini memukul industri kami,” tuturnya.
Harga semikonduktor yang semula sekitar US$ 0,1 melonjak berkali lipat hingga menyentuh US$ 9 sampai 25.