BUS-TRUCK – Akhir pekan yang lalu (15/12) terjadi lagi kecelakaan yang melibatkan sebuah bus AKAP di ruas Tol Kanci-Pejagan Km 223.
Kepala Satlantas Polresta Cirebon, Kompol Mangku Anom Sutresno, di Cirebon (16/12), mengatakan dalam kecelakaan ini bus tujuan Jakarta-Yogyakarta itu melaju dengan kecepatan tinggi tanpa melakukan pengereman.
Dijelaskannya, berdasarkan rekaman kamera CCTV, bus yang dikemudikan oleh sopir bernama Mujianto tersebut tidak mengurangi kecepatan saat mendekati lokasi kejadian.
Dari data tersebut, dugaan sementara kecelakaan tunggal itu mengarah pada kelalaian sopir sebagai penyebab kecelakaan.
Mengapa muncul kelalaian?
Selain karena pemicu yang bersifat fisik seperti mengantuk, pemicu yang bersifat pesikologi seperti kelalaian juga acap menjadi pemicu kecelakaan yang melibatkan kendaraan besar.
Catur Wibowo dari DSTC Defensive & Safety Driving Consulting, menjelaskan soal langkah pertama yang seharusnya dilakukan semua pengemudi. Terutama kendaraan dimensi besar. “Pertama. sebelum mengemudi, semua driver harus mengenal kendaraan yang akan dikemudikan. Mulai dari model, jenis dan dimensinya,” buka Catur.
Sekilas tindakan tadi terlihat sederhana, dan cenderung banyak dianggap remeh.
Namun, menurut Catur, langkah awal itu jadi ‘penentu’ bagaimana satu pola mengemudi yang baik dan benar atas sebuah kendaraan bisa dilakukan.
Kemudian baru masuk ke proses selanjutnya, kenali semua peranti pendukung keselamatan, termasuk alat alat bantu penglihatan. Karena sebanrnya tidak banyak, kendaraan komersial, termasuk bus yang dibangun oleh karoseri dilengkapi peranti bantu mengemudi seperti ADAS pada kendaraan pribadi.
Kalau kedua hal tadi sudah dijalani, langkah selanjutnya disebutkan lagi oleh Catur yang juga instruktur keselamatan berkendara di area pertambangan perihal pemahaman teori “Smith System”.
Ada lima patokan kuncian,”Pertama, bagaimana pandangan ke arah depan, yang kedua adalah perlunya dapatkan gambaran luas atau visibilitas paling ideal, ketiga yaitu ‘aktifkan’ mata atau perlu ada kewaspadaan tinggi.”
Tahap keempat, harus bisa menciptakan atau cari tahu ‘ jalan keluar’ kalau ada handicap, dan yang kelima selalu pastikan posisi kendaraan yang dikemudikan bisa terlihat dan pengemudi bisa melihat posisi kendaraan lain. Begitu urainya.
Sejurus kemudian diingatkan lagi, ini menurutnya juga kerap diabaikan saat melaju di jalan tol, memastikan jarak aman antar kendaraan sekaligus menjaga kecepatan kendaraan sesuai rambu.
“Sesuai juga dimensi kendaraan, karena semakin cepat kendaraan, daya pandang akan semakin sempit. Artinya Anda tidak akan bisa menciptakan jalan keluar juga mennghadapi handicap yang tidak bisa diatasi. sehingga potensi kecelakaan akan lebih besar,” jabar pria yang juga penggiat kegiatan outdoor dan offroad ini.
Nah, menurutnya lagi perihal kelalaian dalam berkendara itu sendiri dikarenakan pengemudi tidak menjalankan fungsi yang sesuai dengan aturan lalu lintas.
Perlu ada uji ‘laik mengemudi’ secara berkala
Apakah itu karena sang pemegang kemudi merasa punya ‘jam terbang’ tinggi?
Catur menegaskan bahwa sejujurnya kompetensi mengemudi tidak bisa ditakar dari soal ‘senioritas’ atau rentang waktu sebagai pengemudi. “Tapi dilihat dari attitude dan skill assasement, pengalaman bisa menjadi point tambahan, tapi bukan jadi kunci utama,” tegasnya.
Selain itu, kompetensi itu juga ada periode yang perlu diverifikasi ulang. Diterangkan lagi oleh Catur, rentang waktu ‘laik mengemudi’ itu adalah satu tahun.
“Jika dalam periode tersebut ada yang masa ‘gagal’ uji kompentesi maka pengemudi tersebut seharusnya tidak boleh mengemudi sampai semua tahapan pengujian bagi yang bersangkutan bisa lulus semua,” wantinya.
Ia memungkaskan, seorang pengemudi yang bernaung di sebuah perusahaan seharusnya paling lama tiga tahun sekali perlu mendapatkan pelatihan ulang atas keterampilannya dalam mengemudi. (EW)
Baca juga: MTI: Regulasi Untuk Sopir Perlu Dibuat Segera
Baca juga: Pekan Nasional Keselamatan Jalan 2024: Kecelakaan Banyak Disebabkan Oleh Faktor Pramudi