Peremajaan armada scara berkala menjadi keniscayaan pengusaha yang mempertaruhkan hidup matinya di bisnis transportasi dan jasa angkutan seperti bus.
Karenanya, membeli sasis bus baru untuk menambah atau menggantikan armada bus yang sudah tua menjadi tuntutan. Minimal, meremajakan bodi bus jika kondisi sasis bus berikut mesinnya.
Tapi problemnya, pengusaha otobus selalu terbentur oleh mahalnya biaya bunga yang harus dibayar ketika membeli armada dengan cara kredit, baik ke bank atau ke perusahaan pembiayaan (leasing).
"Membeli mobil pribadi seperti Avanza bunganya maksimal hanya 8 persen. Sementara, membeli sasis bus, bunganya bisa sampai 14 persen. Ada selisih 7 persen lebih. Di mana letak keadilannya?" ujar Sani dalam perbincangan dengan kami di Jakarta, Jumat (3/9) petang.
"Saat ini kami bayar suku bunga lebih mahal daripada mobil kecil. Ini jadi handicap (kendala) buat kami untuk cicilan bus. Sementara, pemerintah membuat aturan membatasi usia kendaraan sampai 25 tahun untuk bus AKAP dan 10 tahun bus pariwisata. Ini terus terang jadi kendala bagi kami," imbuhnya.
Tak hanya itu, pengalaman Sani selama ini, ketika mengajukan permohonan pembiayaan ke bank untuk pembelian unit bus baru, bank minta collateral (jaminan) sangat tinggi ke pengusaha.
"Kita beli bus belanjanya hanya Rp 1,5 miliar. Bank mau membiayai tapi mensyaratkan kita harus buka rekening tabungan di bank tersebut dan harus ada Rp 800 juta dana yang diendapkan," dia mencontohkan.
Jika terus dibiarkan, imbuh Sani, kondisi tersebut jelas tidak menguntungkan pengusaha bus, terutama pengusaha bermodal cekak, untuk meremajakan armada.
"Sudah seharusnya Pemerintah peduli pada angkutan umum. Misalnya, dengan memberikan dukungan subsidi bunga kepada bus angkutan umum kelas ekonomi, bentuknya seperti apa terserah," papar Kurnia Lesani Adnan yang juga Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) ini.