Kalangan pengusaha angkutan truk meminta Pemerintah tidak terburu-buru memberlakukan kebijakan wajib penggunan bahan bakar biodiesel B20 yang didistribusikan melalui perusahaan pemasar bahan bakar seperti di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) mulai Oktober 2018 ini. Alasannya, banyak pengusaha angkutan truk belum siap mengantisipasi hal ini terkait dengan teknologi yang dimiliki armada truk mereka.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman mengatakan, selama ini sampel ujicoba penggunaan biodiesel B20 hanya dilakukan pada kendaraan di Jabodetabek dan Jawa Barat saja. Itu pun menggunakan kendaraan kecil bermesin diesel.
"Seharusnya tidak perlu terlalu terburu buru dalam mengimplementasikan Biodiesel. Sampling yang diambil juga hanya di daerah Jabotabek-Jabar selama 40.000 km menggunakan kendaraan penumpang kecil. Seharusnya sebagai konsumen terbesar dan yang terdampak langsung dengan kebijakan ini, maka truklah dan yang usianya bakal terdampak yang dijadikan sampel. Kondisi lingkungan kerjanya juga jauh lebih ekstrem," ungkap Kyatmaja Lookman.
Dia menambahkan, beberapa hasil uji coba yang dilakukan oleh agen pemegang merek (APM) pun menurut dia kurang memadai, seperti uji mesin saja dan bukan uji jalan dengan menggunakan solar yang ada di pasar di mana campuran B20-nya dia nilai tidak konsisten (B5, B10 dan sebagainya).
"Karena itu harus kita lakukan kajian sangat mendalam jangan aturan diterbikan kemudian menjadi masalah dicabut lagi, seakan tidak bijak dalam mengeluarkan aturan," ungkapnya.
Dia menambahkan, biodiesel memiliki sifat korosif dan asam sehingga jika tertarik dalam ruang bakar maka lama kelamaan mesin menjadi ngempos dan akan kehilangan tenaga alias rusak. "Kendaraan yang lama (truk tua) juga tidak FAME ready dan untuk membuat FAME ready maka karet, hose dan gasket semua harus diganti dengan melakukan modifikasi mesin. Kedua tanki solar harus dilapisi anti karat karena sifatnya yang korosif. Jangan lupa ditambahkan water separator filter," tandasnya.