Era mobil listrik di Indonesia sudah di depan mata. Deretan mobil-mobil bebas emisi mulai ditawarkan berbagai pabrikan. Meski demikian, kendaraan jenis hybrid ke depannya justru jadi pilihan. Kenapa?
Seperti dikatakan peneliti, Dr. Ir. Riyanto M.Si, Senior Researcher LPEM FEB UI pada acara NGOVI2000 akhir pekan lalu. Menurutnya saat ini Indonesia memasuki era pesat di elektrifikasi kendaraan.
Perkembangan tersebut juga disebutnya sebagai bagian komitmen pemerintah menurunkan gas rumah kaca, menurunkan impor BBM. Yakni tentang road map elektrifikasi kendaraan hingga 20 persen di 2025.
Meski demikian ada berbagai kendala yang masih jadi pertimbangan konsumen mobil untuk memilih mobil jenis fully electric. Sehingga hybrid jadi pilihan konsumen.
Diantaranya harga, infrastrutur dan ekosistem. "Tiga hal ini yang perlu edukasi dan dirintis oleh pemerintah. Termasuk menurunkan harga BEV, supaya harganya kompetitif," katanya.
Menurut Riyanto, harga BEV dan fuel cell saat ini cukup mahal, yakni di atas Rp 600 jutaan. Sehingga BEV marketnya masih tipis yang mampu beli masih bisa dihitung jari. "Golongannya high income, tak lebih dari 1 persen yang mampu beli."
Dari sisi infrastruktur, fasilitas Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang masih jarang juga sangat mempengaruhi pemilihan konsumen untuk memilih BEV.
Sehingga saat ini menurutnya pilihan rasional, masih di mobil hybrid dan PHEV. "Hybrid sudah mengurangi langkah impor BBM dan efek rumah kaca lewat efisiensinya. Sehingga hybrid sebagai masa transisi, hingga tahun 2025 atau 2030 masih jadi pilihan," pungkasnya.