Pemerintah akan memberikan subsidi sebesar Rp80 juta untuk pembelian mobil listrik dan Rp8 juta untuk pembelian motor listrik. Subsidi sendiri adalah bantuan keuangan atau insentif khusus dari pemerintah.
Namun, apa jadinya jika subsidi yang sudah diberikan dicabut kembali? Bukan mustahil fenomenanya akan seperti yang terjadi di China. Seperti dilansir Reuters, Jumat (11/2) penjualan mobil penumpang di China merosot 38 persen pada Januari 2023.
Permintaan melemah setelah pemotongan pajak untuk mobil konvensional dan subsidi kendaraan listrik berakhir.
Diketahui, mobil baterai murni (BEV) dan plug-in hybrid (PHEV) turun 6,3 persen pada Januari 2023, setelah mengalami pertumbuhan 90% pada 2022, seperti diungkap Asosiasi Mobil Penumpang China (CPCA).
"Penjualan mobil energi baru pada Januari tidak memenuhi harapan kami, dengan penurunan penjualan tahunan yang jarang terjadi dalam satu bulan," kata Sekertaris Jenderal CPCA, Cui Dongshu. Pemerintah China sendiri telah memutuskan untuk mengakhiri subsidi nasional selama lebih dari satu dekade untuk pembelian kendaraan listrik.
Perlu diketahui, di Indonesia harga mobil listrik sendiri terbilang mahal dikarenakan karena baterainya masih impor. Dengan subsidi dari pemerintah dipastikan akan dapat membatu daya beli masyarakat terhadap mobil listrik.
"Biaya termahal untuk kepemilikan kendaraan listrik terletak pada harga baterainya yang mahal untuk saat ini. Dengan subsidi tersebut maka harga baterai yang mahalnya dapat mencapai 30-40% harga kendaraan jadi lebih bisa terbeli," ujar pengamat otomotif Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Pasaribu saat dihubungi OtoDriver.
Mengingat produksi kendaraan listrik masih bergantung pada negara lain, karena sejumlah komponen pentingnya, seperti baterai masih yang masih impor jadi, jika subsidi berjalan maka permintaan akan melonjak. "Maka dari itu, pemberian insentif harus dilakukan agar tidak terjadi kejomplangan di pasar. Di mana barang tersedia, tapi daya beli tidak ada," papar Yannes.