Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (EV) Sebagai Kendaraan Dinas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Inpres yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 13 September 2022 merupakan upaya Pemrintah dalam target net zero emission pada 2060. Dimana merupakan wujud komitmen menerapkan transisi energi dari sumber fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT).
Meski demikian, mobil listrik sebenarnya tak sepenuhnya ramah lingkungan. Sebab, kendaraan tersebut memerlukan daya listrik yang sumbernya berasal dari energi fosil seperti solar dan batu bara.
"Walaupun kendaraan listrik ini tidak menghasilkan polusi udara, namaun listrik yang dipergunakan untuk mengisi baterainya masih sekitar 35%-nya masih menggunakan sumber energi yang berasal dari fosil, mulai dari solar hingga batubara," kata Pengamat Otomotif dan Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu kepada OtoDriver, Jumat (16/9).
Lebih lanjut Yannes menambhakan, demi berlangsungnya program elektrifikasi jangka panjang tapi tidak menggunakan energi fosil, pemerintah seharusnya bisa membenahi sumber daya atau sumber penghasil energi yang saat ini digunakan untuk kendaraan listrik menjadi sumber energi terbarukan.
"Kelak, jika program penataan menuju energi baru dan terbarukan di PLN sudah berjalan, baru secara berangsur-angsur terjadi penurunan karbon dan polusi dari PLN sebagai sumber penghasil listrik utama untuk kendaraan listrik di Indonesia," ujar Yannes.
Namun, jika mobil bensin dan mobil listrik, tetap lebih ramah lingkungan mobil listrik. Sebab, meski pengisian dayanya masih menggunakan energi fosil, namun kendaraan tersebut tak menghasilkan gas buang.
Terkait adanya upaya Pemerintah Indonesia yang terlalu memaksakan untuk beralih ke kendaraan listrik dikarenakan Indonesia dikondisikan oleh Paris Agreement yang disepakati Indonesia bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan menurunkan tingkat karbon yang dihasilkannya hingga 29% dengan dukungan internasional.
"Indonesia mau tidak mau harus berupaya keras untuk itu, agar tidak mendapatkan tekanan ekonomi yang keras dari banyak negara maju," ujar Yannes.