Dalam lima tahun terakhir nyata sekali kalau pabrikan kendaraan komersial yang hasilkan bus maupun truk baik yang lama maupun yang baru muncul, dan masih akan terus muncul, saling berlomba membuat produk yang termutakhir mereka. Tentu saja ini ada alasannya, sebuah riset dari ResearchAndMarkets.com pada akhir Oktober lalu (31/9) menyebutkan bahwa pertumbuhan permintaan bus bertenaga listrik ternyata tumbuh sampai 32,2 persen sampai tahun 2026.
Prediksi itu tentu saja melibatkan nominal yang tidak kecil, karena berdasarkan pengamatan lembaga asal Irlandia ini pertumbuhan sampai tahun 2026 itu akan memutar dana sampai 270,34 miliar dolar AS. Kurang lebih sekitar Rp 3.900-an tirliun, satu angka yang luar biasa besar dalam dunia otomotif.
Tidak heran juga, masih berdasarkan riset tersebut, nama-nama besar nan legendaris di jagad otomotif bertaburan. Sebut saja; Daimler AG, Nissan, Scania, Tata Motors, Zhongtong, Isuzu, Hino, Iveco, maupun Tesla. Termasuk juga para jagoan elektronika ikut serta dalam ‘bancakan’ elektrifikasi, seperti; LG, Panasonic, Delphi, serta Siemens.
Adanya ‘proyek’ global itu tidak hanya berkaitan dengan produk tetapi juga soal jaringan purba jual, dan tentu saja jaringan pemasok komponen dan sejenisnya. Semua demi impian mewujdukan sistem transportasi yang minim pelepasan gas rumah kacanya.
Kalau sudah begitu, tentu ada pasar yang punya potensi pertumbuhan luar biasa, hingga memunculkan ancang-ancang pembiayaan yang begitu besar. Ya, kawasan Asia-Pasifik sejak tahun 2021, justru di saat pandemi sedang berkecamuk, punya pertumbuhan tertinggi bagi kendaraan komersial tenaga listrik. Pasar Amerika Serikat yang tadinya sering disebut-sebut sebagai ‘lokomotif’ elektrifikasi kendaraan komersia ternyata ‘hanya’ menduduki posisi kedua.
Memang sampai saat ini, ada satu kendala yang masih menghantui pertumbuhan kendaraan listrik komersial, dan juga kendaraan listrik lainnya. Apalagi kalau bukan soal kemampuan baterai dan motor listrik untuk bisa mendorong laju kendaraan sejauh mungkin dan konsistensi dorongan tenaganya.
Jarak jelajah 96-106 kilometer sebagai angka rerata kendaraan listrik dalam sekali isi daya listrik memang masih jauh dari harapan. Belum lagi masih terbilang sangat langka keberadaan stasiun pengisian ulang tenaga listrik. Walaupun banyak kota di dunia sudah menggelontorkan investasi yang juga tak sedikit untuk menyebar luaskan lokasi pengisian daya listrik.
Paling tidak bisa berkaca dari satu penelitian asal Amerika Serikat yang pernah dilakukan pada tahun 2020, lembaga riset itu bernama Alternatuve Fuels Data Center. Disebutkan bahwa di tahun itu, seluruh penjuru Amerika Serikat ada 168.000 unit SPBU. Sementara titik pengisian ulang daya listrik jumlahnya ‘hanya’ 76.000 titik saja. Kondisi ini dipercaya masih akan mencitakan keengganan memilih kendaraan bertenaga listrik di benak konsumen Amerika Serikat.
#bus-truk-busindonesia-trukindonesia-safetydriving-defensivedriving-pikap-mobillistrik-ev-indonesia