Rio Haryanto akhirnya berhasil mendapatkan dana belasan juta Euro untuk membuatnya menjadi pembalap F1 pertama dari Indonesia di 2016 ini. Akan tetapi bila menjadi dirinya, saya tidak akan bisa lepas bergembira, justru merasa sangat terbebani dan terancam. Karena ini seakan pisau bermata dua yang siap menikam dari berbagai penjuru.
Permasalahan muncul karena negara ikut membantu. Di banyak negara lain, bantuan pemerintah untuk atlet sangat dihargai. Tapi di Indonesia, hmmm... bisa sangat berbahaya bagi sang atlet. Apalagi bila yang didukung adalah atlet yang cabang olah raganya hanya dilakukan segelintir masyarakat. Bisa-bisa dituduh menggembosi uang negara.
Rio tidak salah apa-apa. Ia adalah contoh istimewa bagaimana seorang anak melakukan jalan meraih mimpinya sejak kecil. Dari mulai gokart, lantas menapak ke formula yang jenjangnya makin meningkat, hingga GP2 yang notabene setingkat di bawah F1. Semua itu membutuhkan dedikasi tinggi, fokus pada tujuan, serta tentu saja dana segudang. Tidak sedikit pula uang pribadi yang dikeluarkan keluarga Haryanto untuk melakukan itu.
Ketika tinggal masalah uang saja yang membatasi dirinya masuk ke F1, wajar bila Rio meminta dukungan dana dari negara lewat Kementerian Pemuda Dan Olahraga serta BUMN. Selain tidak murah, negara juga turut diuntungkan dengan masuknya ia ke ajang balap paling bergengsi di dunia itu.
Rio tidak akan mendapatkan sepeser pun uang itu, semuanya diserahkan ke tim dengan imbalan ruang sponsor di mobil, baju balap, kru tim, paddock, serta hak iklan. Apakah uang itu sepadan dengan yang didapat negara nantinya, tergantung juga dari cara negara memanfaatkannya melalui media iklan atau promosi.
Akan tetapi Rio hidup di negara yang saat ini sedang krisis, utamanya krisis persatuan. Apapun keputusan yang dilakukan pemerintah akan melahirkan 'Lovers' dan 'Haters' yang kadang jumlahnya seimbang. Dukungan pemerintah untuk Rio ini juga ternyata berbuntut melahirkan haters yang jumlahnya sangat banyak.
Kalau Rio berhasil menang di F1 tahun ini, mungkin jumlah haters akan drastis berkurang. Masalahnya itu nyaris mustahil. Saya bahkan berani bilang, 99,99 persen kemungkinan Rio tak akan menang atau bahkan podium di F1 tahun ini. Tidak finish paling belakang saja mungkin sudah bisa dianggap prestasi tersendiri.
Manor, tim F1 yang akan dihuni Rio di 2016, merupakan tim papan bawah. Sebagaimana kita tahu, tiap tim di F1 memiliki perbedaan performa yang kadang cukup signifikan. Mereka menggunakan sasis berbeda, mesin berbeda, teknologi aerodinamika berbeda serta kemampuan finansial berbeda. Letakkan seorang Lewis Hamilton di Manor melawan Rio Haryanto di tim Mercedes-Benz atau Ferrari misalnya, maka sepanjang musim Lewis Hamilton akan merasakan kekalahan dari seorang pendatang baru.
Lantas kenapa harus membayar untuk balap di tim lemah? Simpel. Karena pembalap yang minat dapat kursi di F1 itu saja berjumlah ratusan atau bahkan ribuan. Sementara hanya ada sekitar 20 kursi di F1 yang diperebutkan mereka. Di lain sisi, tim papan atas dan tengah lebih suka memilih dan membayar sendiri pembalapnya. Kebanyakan mereka ambil dari pembalap tim lemah yang dinilai memiliki bakat dan kemampuan tinggi.
Artinya tim lemah di F1 bagaikan etalase untuk pembalap. Mereka tidak harus menang, namun menunjukkan kalau bakat dan kemampuan yang dimiliki sangat baik.
Fernando Alonso, pembalap Spanyol, tahu persis hal ini. Di 2001 ia mendapatkan tempat di Minardi, sebuah tim F1 paling lemah yang tengah mengalami kesulitan finansial, dengan membayar mahal via sponsor dari negaranya. Ia membalap 1 tahun di tim itu, setelah akhirnya di 2003 ditarik tim papan tengah yang melihat bakat hebatnya. Setelah itu ia berhasil mendapatkan posisi enak, dibayar mahal untuk membalap di tim papan atas. Bahkan hingga saat ini Alonso masih dibayar mahal di F1 dengan 2 gelar juara dunia di tangannya.
Artinya 2016 ini barulah awal bagi Rio, sekaligus pertaruhan terbesarnya. Untuk dapat bertahan di F1 dan dilirik tim papan atas, Rio harus benar-benar memanfaatkan waktu setahun ini. Minimal ia harus lebih baik dari rekan setimnya yang pasti memakai mobil berkemampuan setara. Syukur-syukur bisa masuk 10 besar atau bahkan podium. Setidaknya saat ada lowongan di tim kuat, namanya bisa jadi salah satu prioritas.
Kenapa pula harus Rio yang didanai? Simpel pula jawabannya. Saat ini ia merupakan pembalap Indonesia dengan prestasi paling baik di GP2 dengan 3 kali kemenangan di 2015. Ialah pembalap yang paling mungkin masuk ke F1 tahun ini.
Tapi saya sudah bisa membayangkan hujatan yang akan diterima Rio dan pemerintah saat F1 2016 bergulir pertama kali di Melbourne, Australia, 20 Maret nanti. Karena 99,99 persen kemungkinan Rio akan kalah. Akan banyak orang skeptis yang tak mengerti konsep bisnis serta kompetisi di F1 akan langsung bersemangat menjatuhkan seorang pembalap muda internasional dan pemerintah yang mendukungnya. Bahkan kalau perlu dengan kata-kata menghina.
Saya dari perspektif sebagai seorang yang juga berkecimpung di dunia balap, mungkin tidak akan tahan bila berada di posisi Rio saat ini. Saya berharap dengan mental baja ia ia bisa melewati hal ini, dan tetap fokus lantang membela negaranya di mancanegara.
Saat ini dana sudah dikucurkan dan Rio akan menjadi pembalap pertama Indonesia di F1. Perjalanan dan perjuangannya masih panjang dan mungkin pedih. Sekarang, selayaknya pisau bermata dua, pilihan juga ada di tangan kita. Mau mendukung dan menyemangati Rio selama proses ini berlangsung. Atau malah menggunakan Rio sebagai salah satu alat untuk makin memecah belah bangsa ini.