Suspensi Udara atau air suspension semakin dikenal luas di tanah air terutama oleh pengusaha otobus di Indonesia. Apalagi setelah kemunculan sasis premium seperti Mercedes-Benz OH 1626, OH 1830 hingga Hino RN, semakin banyak yang mengenal suspensi udara ini.
Hal signifikan yang disodorkan oleh air suspension adalah kenyamanan yang lebih prima dibanding dengan suspensi per daun yang lebih dulu dikenal. Hasilnya, bus dengan air suspension kenyamanan yang didapatkan memang jempolan.
Sesuai dengan namanya, sistem ini menggunakan tekanan udara yang ditampung pada sebuah balon karet untuk meredam getaran. Balon karet inilah yang menggantikan per daun atau per keong untuk menopang kendaraan konvensional.
Sebenarnya teknologi suspensi udara sudah dikenal sejak lama. Pertama kali dipatenkan oleh Willian W Humphreys pada 1901. Inventor asal Amerika Serikat ini memegang hak paten pertama berkenaan dengan suspensi udara pada kendaraan. Sistem ini kemudian disempurnakan oleh George Messier asal Prancis pada 1920.
Pihak militer Amerika Serikat dikenal sebagai pengguna pertamanya, tepatnya pada Perang Dunia II. Saat itu digunakan pada truk besar ataupun pesawat terbang. Dahulu, tujuan utamanya supaya bisa melakukan penyetelan tinggi rendah suspensi yang berguna bongkar muat dalam pemindahan logistik dan pasukan. Air suspension lebih ringkas, ringan dan mampu disetel sesuai dengan kebutuhan kapasitas muat saat itu.
Pengunaan untuk kenyamanan baru dikembangkan setelah perang berakhir. Salah satunya adalah Cadillac yang mulai memperkenalkannya pada tipe Eldorado Brougham tahun 1957, yang dikenal sebagai kendaraan pertama non-militer yang murni menggunakan suspensi udara.
Dari sedan yang dibandrol lebih mahal dari Rolls Royce saat itu, suspensi udara berevolusi sebagai salah satu perangkat kenyamanan salah satunya untuk bus.