Saat ini bus dek rendah atau lower deck sudah hadir di beberapa kota tanah air. Armada bus dalam kota, seperti Metrotrans, Suroboyo Bus dan Trans Semarang mulai memakainya untuk kemudahan akses difabel.
Umumnya tipe bus ini didominasi merek asal Eropa, seperti Scania K250UB dan Mercedes-Benz 1726. Padahal jauh sebelum keduanya hadir, bus lower deck awalnya justru datang dari Jepang.
Kehadiran bus lower deck di Indonesia sendiri dimulai pada 2001. Di mana saat itu keran impor truk dan bus bekas dibuka oleh pemerintah Indonesia. Pesanan bus bekas Jepang, seperti Mitsubishi, Isuzu, Nissan Diesel dan Hino, umumnya dari perusahaan angkutan plat merah, PPD. Bus tersebut didatangkan utuh dari Jepang, bahkan saat itu, catnya masih sama seperti unit dari Negeri Matahari Terbit itu, yakni hijau-krem.
Armada ini dipakai untuk menggantikan bus tingkat dan gandeng dari PPD yang telah uzur. Rute dan ongkosnya sama seperti bus kota non-AC (reguler) saat itu. Seperti bus PPD 43 dengan rute Cililitan-Tanjung Priok, atau PPD 46 jurusan Cililitan-Grogol, yang kini menjadi trayek bus Transjakarta.
Harga per unit saat itu sekitar Rp 87 jutaan dengan usia bus di atas 10 tahun. Ada sekitar 85 unit yang didatangkan mereka dari kurun 2001-2004. Masalah kerap bermunculan karena usia bus tua dan komponennya yang ternyata berbeda dengan bus yang dipasarkan di Indonesia. Tak heran, bus tersebut kemudian berakhir menjadi unit kanibal.
Kemudian, merek asal Jepang tak lagi memasok bus lower deck untuk armada bus kota. Namun, dengan modifikasi oleh karoseri lokal, bus berbasis Hino RK kerap dipakai sebagai bus apron di bandara yang berfungsi untuk mengantar penumpang dari terminal menuju tangga pesawat.