Sebelum didominasi oleh merek-merek asal Eropa dan Jepang, produk-produk otomotif Amerika pernah meraja di jalanan Indonesia, tak terkecuali produk bus dan truknya.
Masih lekat dalam ingatan, adalah sosok bus ber-bonnet yang selalu wira-wiri di jalanan. Bermacam merek mulai dari Dodge, Chevrolet, Ford hingga International Harvester pernah menjadi bagian dari penggalan sejarah masa silam transportasi umum tanah air.
Namun dari semua itu, Dodge merupakan merek yang paling populer dan paling banyak digunakan oleh operator bus, khususnya di Jakarta. Misalnya saja, PPD (Pengangkutan Penumpang Djakarta), Gamadi, Pelita, Merentama, Saudaranta hingga Mayasari Bakti.
Awal Kiprah bus Dodge di Indonesia tak lepas dari latar belakang bantuan Amerika Serikat lewat paket program MSA (Mutual Security Act). Di antaranya membantu usaha trasportasi angkutan kota yang melanjutkan warisan BVM (Bataviasche Verkest Maatschappij).
Perkembangan selanjutnya terjadi pada 1969, tepatnya pada era kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin. Ketika United States Agency for International Development (USAID) memberikan bantuan kredit untuk pengadaan bus kota. Kehadirannya merupakan berita gembira untuk mendapatkan alternatif bus yang lebih besar dan nyaman, dibandingkan bus bikinan Robur yang lebih kecil dan sering rusak.
Pada awalnya, USAID mendatangkan 264 bus Dodge dan secara bertahap terus bertambah hingga mencapai 4.000 unit pada 1974.
Tipe D500 (short wheelbase) dan D600 (long wheelbase) digunakan dalam berbagai trayek. Pilihan mesin bensin 6 silinder, 225 cu.in (3.700 cc) dengan muntahan daya 140 dk atau mesin V8 318 cu.in (5.200 cc) dengan kemampuan daya 207 dk. Tenaga dari mesin kemudian disalurkan via transmsi manual 4 percepatan berkode NP435, sedangkan untuk gardan menggunakan tipe full flotaing lansiran Eaton.
Bodi bus merupakan rakitan Superior Body Coach yang berlokasi di daerah Cawang, Jakarta Timur. Karoseri ini merupakan lisensi dari Superior Body Coach yang bermarkas di Lima, Ohio Amerika Serikat.
Keberadaan bus asal Detroit ini kemudian diserahkan pada 12 operator dan berhak menerima secara kredit.
Namun persoalan muncul kemudian. Istilah kejar setoran membuat supir melakukan pelanggaran melebihi muatan hingga kebut-kebutan di jalan. Alasannya karena angka setoran yang dinilai terlalu besar dan tidak sesuai jumlah rit yang secara resmi dipatok maksimal 10 rit tiap harinya.
Kondisi ini yang membuat bus ‘disiksa’ melebihi batas kemampuannya. Bahkan beberapa di antaranya terlibat kecelakaan yang merenggut korban jiwa. Bus yang sohor di tanah leluhurnya sebagai transportasi anak sekolah ini pun mulai compang-camping dengan berbagai kerusakan sebelum waktunya. Alhasil banyak yang kemudian mangkrak di pool operatornya.
Memasuki dekade 80-an bus ini pun semakin digiring ke tepi jurang kepunahan. Kehadiran pengganti lansiran Jepang dan Eropa dengan mesin diesel yang lebih efisien, akhirnya menghentikan kiprah pengangkut penumpang ini.
Pada era 90-an, bangkai bus yang ditumpuk di berbagai lokasi pool kemudian ditenggelamkan di teluk Jakarta untuk dijadikan rumpon. Bangkai yang berada di dasar laut itu perlahan akan ditumbuhi koral dan menjadi rumah ikan ataupun tempat bernaung biota laut lainnya.