Hal yang paling digadang-gadang dengan hadirnya kendaraan bermotor listrik termasuk kehadiran pikap dan truk, berkaitan erat dengan isu lingkungan, yakni tanpa emisi.
Tak sedikit yang mengatakan bahwa kendaraan listrik merupakan kendaraan bebas emisi. Namun pada kenyataannya tidak demikian, kendaraan-kendaraan pelahap setrum ini tetap saja mengeluarkan emisi.
“Sejauh ini benar adanya jika mobil listrik merupakan mobil paling ramah lingkungan dengan emisi paling bersih. Namun ada variabel yang menyebabkan mobil listrik tetap menghasilkan emisi,” terang Agus Purwadi, Ketua Tim Mobil Listrik Nasional (Molina) beberapa waktu silam.
“Emisi datang dari mobil itu berupa debu karet yang berasal dari gesekan antara aspal dan ban. Sedangkan yang terbesar berasal dari tempat pembangkit daya listrik, yang menjadi tempat pembuat daya untuk diisikan ke dalam baterai mobil,” ungkap akademisi Institut Teknologi Bandung ini.
Lebih jauh lagi, Agus mengatakan bahwa kehadiran mobil listrik erat hubungannya dengan jenis pembangkit listrik yang mensuplai kebutuhan penyetruman. Jika menilik kondisi Indonesia yang sebagian besar pembangkit listriknya mengandalkan bahan bakar batu bara, maka polusi yang dihasilkan oleh pabrik pun relatif lebih besar dibandingkan jenis pembangkit tenaga nuklir.
“Sebersih apapun jenis pembangkit listriknya, tetap saja ada emisi yang dihasilkannya. Namun lebih terkendal, terkonsentrasi pada satu tempat saja dan tidak tersebar di berbagai tempat di jalanan,” tutupnya.
Tetapi, yang terpenting, ketika era kendaraan listrik sudah menjadi umum, 'polutan bergerak' yang biasanya berasal dari knalpot kendaraan, sudah tak ada lagi.