Tahun 2018 lalu, PT Toyota Astra Motor (TAM) menghadirkan produk crossover pertamanya, yakni Toyota C-HR. Model ini secara langsung menjadi pesaing Honda HR-V, Mazda CX-3, dan Mitsubishi Outlander Sport.
Kendati demikian, model SUV yang mengusung basis Toyota New Global Architecture (TNGA) ini dianggap terlalu mahal sehingga dinilai tak mampu bersaing dengan para rivalnya. Apa komentar pihak TAM terkait hal ini?
Ternyata APM Toyota yang bermarkas di Sunter, Jakarta Utara ini mengaku tak mengandalkan C-HR dalam jajaran tulang punggung penjualannya.
“Kami punya beberapa lini SUV. Di antaranya Rush, Fortuner, C-HR dan Land Cruiser. Kalau berbicara volume, kami memang lebih mengandalkan Rush dan Fortuner,” ujar Antoni Jimmi S, Marketing Director PT TAM ketika diwawancarai di Jakarta Selatan pekan lalu (8/1).
Pihak TAM sendiri berdalih bahwa C-HR memiliki segmen yang niche. “Untuk C-HR, memang kami arahkan ke segmen niche dan segmented. Kami tidak mengharapkan volume yang besar dari model ini,” tambahnya.
Masih menurut Jimmi, Toyota C-HR ditujukan kepada konsumen yang ingin tampil beda dibandingkan para model pesaingnya.
“Tapi harapan kami terhadap C-HR yakni untuk orang-orang tertentu yang ingin tampil lebih stylish, berbeda, mereka bisa membeli C-HR,” tutup Jimmi.
Semenjak diliuncurkan pada April 2018 silam, Toyota C-HR terjual sebanyak 30 sampai 40 unit perbulannya. Model ini memiliki 2 varian. Di antaranya C-HR Single Tone dipasarkan dengan harga Rp 488,6 dan C-HR Dual Tone dibanderol dengan harga Rp 490,1.